Home » Beranda » HILANGNYA NYANYIAN MASKUMAMBANG

Kalender

November 2024
F S S M T W T
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

HILANGNYA NYANYIAN MASKUMAMBANG

Oleh Qiki Qilang Syachbudy

 

Kehidupan desa di sekitar tahun 90-an memang sangat nikmat untuk dikenang. Suasananya masih tergambar dengan jelas di dalam kenangan yang kian menguat ketika kita beranjak tua.

Kenangan yang kuat tergambar adalah suasana ringan dan bersahaja tanpa adanya listrik dan televisi yang memuat berita simpang siur, meremas akal pikiran. Lain halnya dengan sekarang, kehidupan desa semakin kering dan gersang. Sebab desa sekarang bak sudah ditinggal ruhnya. Alam bawah sadar para warganya sudah dipenuhi kemolekan gaya hidup orang-orang kota. Akibatnya, warga desa kian lama kian jauh dari akar kesejatiannya. Mereka bak para penari latah yang hanya bisa menirukan tarian orang-orang kota.

Diantara banyak kisah yang rindu untuk dikenang adalah pada saat menikmati nuansa keindahan malam di bawah cahaya bulan purnama. Tidak jauh dari rumah, terdapat suatu pelataran yang lumayan luas tempat anak-anak bermain petak-umpat selepas pulang mengaji dari mushola. Mereka bermain dengan meriah dan sesekali tampak kegirangan saling berkejaran satu sama lain. Sementara itu, sebagian orang tua dan remaja ada yang sedang mengobrol di beranda rumah sambil menikmati hidangan rebus singkong dan sejenisnya, sedangkan sebagian lain sedang mendengarkan dongeng enteng di radio Sonic sambil melepas lelah di dalam rumah.

Ada hal yang menambah syahdu di malam-malam itu, tepatnya dari suatu rumah yang hanya terhalang dua atau tiga bangunan, terdengar alunan suara merdu seruling yang dimainkan Aki Entuk meliuk-liuk melantunkan lagu warna kinanti, pucung, asmarandana, dan sesekali juga melagukan maskumambang. Suaranya terasa dingin melilit sukma, bersama gelombang angin malam yang dengan lembut membelai otot para orang tua kami selepas mendermakan keringatnya di sawah-sawah gurem.

Aduhai hidup yang sangat indah jika orang-orang melihat keadaan hidup kami dengan hati dan pikiran yang jernih. Kami bak hidup di sebuah halaman surga yang mengalir air maupun udaranya dengan jernih. Sementara tanahnya yang subur mempersembahkan kedermawanannya, menyambung hidup kami agar selalu lestari.

Sepotong cerita tentang suasana kedamaian desa yang indah itu hendaknya menjadi sebuah bahan renungan bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Pada dasarnya, negara Indonesia terbangun dari tunas-tunas kehidupan di desa-desa. Seperti kita bisa mengenal hampir semua tokoh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Jenderal Soedirman, dan lain-lain, mereka berasal dari rahim desa dengan segala pernak-pernik nilai-nilai budayanya. Dengan kata lain, mungkin hampir tidak kita sadari bahwa pada waktu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak dari sebuah proses yang bisa disebut dengan “desa yang memengaruhi kota”.

Meskipun para pendiri bangsa di kemudian hari mendapatkan pengetahuan dari Barat, namun pada dasarnya pengetahuan itu tidak akan bisa meresap jika saja tidak menemukan gen yang baik dan pilih tanding. Proses kehidupan dan suasana desa tetap membawa andil yang besar dalam menancapkan beton-beton yang kokoh dalam suatu proses pembangunan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang megah.

Dorongan terbesar yang patut diacungi jempol saat peristiwa proklamasi 1945 adalah adanya arus bawah yang sangat kuat sehingga menimbulkan gelombang sangat besar yang menyeruak ke permukaan. Gelombang keinginan untuk bebas dari penjajahan itu kemudian dipersonifikasikan oleh Soeharno – Hatta sebagai sebuah penanda kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan sebagai sebuah penanda telah dimulainya sebuah organisasi bangsa yang kita namakan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada tiga kekuatan ideologi besar yang turut berperan dalam terbentuknya NKRI, yaitu Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme, atau yang di zaman Bung Karno disingkat sebagai Nasakom (Nasionalis, Islamis dan Komunis). Meskipun di kemudian hari ketiga ideologi itu saling serang satu sama lain, namun tercatat bahwa ketiganya telah mampu menghalau musuh bersama, yaitu penjajahan. Bahkan kalau kita runut lebih jauh, para tokoh yang mewakili ketiga besar ideologi tersebut hampir semuanya berasal dari desa, yang ketika kecil mereka pasti sangat kental dengan mushola (surau) dan permainan petak-umpet.

Ketika para pendiri tokoh bangsa itu menginjak masa remaja, tentu sangat wajar bagi mereka ketika memiliki cara pandang berbeda tentang sebuah konsep dalam megelola sebuah negara sehingga taraf kehidupan bangsanya membaik. Mereka kemudian saling bertarung wacana sampai sejarah telah mencatat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah muara akhir dari proses identifikasi identitas bangsa dalam koridor Indonesia Raya.

Setelah melalui proklamasi kemerdekaan 1945, yang menurut Bung Karno sebagai “jembatan emas”, kini Indonesia menjadi sebuah tempat tinggal bersama bagi seluruh bangsanya. Oleh karena itu, seluruh bangsa Indonesia harus mampu mawas diri dalam setiap pergaulannya terhadap setiap perbedaan yang ada. Seluruh energi dan pikiran hendaknya dikerahkan demi terciptanya kesejahteraan umum yang dapat dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia.

Namun tentu dalam perjalanannya, konsep-konsep idealis dalam pembangunan nasional memiliki banyak tantangan. Luasnya wilayah Indonesia ditambah dengan banyaknya penduduk kadang tak mampu dikelola dengan baik. Ada saja kemudian oknum-oknum yang mungkin secara disengaja atau tak disengaja hampir membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Alangkah indahnya memang jika kita menengok kembali permainan petak umpet para bocah-bocah di desa. Mereka saling bertarung dan berkompetisi untuk memenangkan sebuah permainan, namun tetap mengikuti satu aturan baku. Seandainya satu orang saja melanggar, maka yang lainnya akan mengingatkan atau bahkan yang melanggar itu mengaku sendiri dengan kejujuran yang sederhana. Semuanya berkonsentasi dengan permainan. Tidak ada sumpah serapah yang terlontar, dan jikapun permainan sudah selesai, maka semuanya saling legowo dan kembali lagi berteman tanpa adanya dendam.

Kenangan tentang permainan petak-umpet memang menyisakan kesan yang sangat mendalam. Penulis kadang membayangkan bahwa dalam proses interaksi berbangsa dan bernegara, terutama dalam bidang kontestasi politik, pada dasarnya merupakan sebuah permainan petak-umpet dalam versi yang lebih tinggi. Namun sangat disayangkan bahwa spirit petak-umpet dalam versi yang lebih tinggi itu kadang lebih rendah nilainya daripada spirit petak-umpet bocah-bocah kampung.

Kita tentunya merindukan hadirnya kembali cerita-cerita yang menyejukkan tentang spirit yang lebih tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semisal sikap kenegarawanan yang ditunjukkan para pendiri bangsa yang terbagi menjadi tiga ideologi, yaitu Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Meskipun terdapat beberapa catatan, merekalah para tokoh bangsa yang sudah memberikan pelajaran kepada generasi kita saat ini tentang pentingnya memisahkan antara ranah private dan dan ranah umum. Bahwa perbedaan itu sangat penting dalam proses mematangkan sebuah konsep, namun tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jikapun dalam permainan petak-umpet bocah-bocah itu kemudian terjadi perselisihan yang berkelanjutan, maka kemudian ada orang tua yang akan melerai mereka secara bijaksana sesuai dengan nilai-nilai yang dihayati bersama. Hal itulah yang membuat kehidupan desa terasa lebih memiliki harmoni seperti yang digambarkan dalam suasana malam di bawah cahaya bulan purnama.

Sambil mengenang alunan nada maskumambang yang dilantunkan Aki Entuk melalui seruling bambunya, penulis teringat bait-bait puisi Maskumambang ciptaan W.S. Rendra. Dalam bait-bait puisi tersebut diantaranya tertulis seperti berikut:

Cucu-cucuku

negara terlanda gelombang zaman edan

cita-cita kebajikan terhempas batu lesu dipangku batu

tetapi aku keras bertahan

mendekap akal sehat dan suara jiwa

biarpun tercampak di selokan zaman

 

Bangsa kita kini

seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang

yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa

tanpa kita bisa melawannya

semuanya terjadi atas nama pembangunan

yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan

Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum

juga mencontoh tatanan penjajahan

menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan

Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik

 

Merenungi kalimat dalam bait-bait puisi tersebut, kita hanya bisa meraba-raba tentang maksud Rendra yang menyebut bahwa negara tengah dilanda zaman edan. Kita tidak dapat mengukur perenungan Rendra tentang seberapa tingkat “keedanan” zaman pasca berakhirnya gelombang reformasi.

Secara menyeluruh Rendra menyebutkan tanda-tanda fisik akibat dari keedanan zaman, yaitu negara yang lemah terhadap negara adikuasa, tatanan pembangunan, tatanan kenegaraan dan tatanan hukum yang lemah sehingga menyebabkan ketidakberdaulatan rakyat. Namun sekali lagi, bahwa poin-poin tersebut hanya ciri-ciri fisiknya saja, sedangkan penyebab utamanya terletak pada sumberdaya manusia yang kurang menggunakan akal sehat serta mendegar suara jiwa. Sebab zaman ini zaman edan, maka menurut Rendra, yang tidak edan akar tercampak di selokan zaman.

Kita hanya berharap bahwa zaman edan yang digambarkan Rendra ini tidak sampai merambah ke desa-desa sebagai pemasok para generasi muda pilih tanding seperti halnya para pendiri bangsa dahulu dalam proses “desa yang memengaruhi kota”. Kita tentunya masih menginginkan melihat keadaan harmoni seperti gambaran tentang kehidupan desa di bawah cahaya bulan purnama. Ada bocah-bocah kampung yang sedang bermain di pelataran, sedangkan para orang tua dan remaja melakukan aktivitasnya masing-masing, sambil menikmati air kopi dan sepiring singkong rebus di depan rumah.

Namun roda zaman memang akan terus berubah. Kehidupan desa di sekitar tahun 90-an tersebut kini hanya tinggal kenangan. Dengan masuknya listrik, orang tidak peduli lagi dengan keberadaan bulan purnama. Selepas pulang dari mushola, anak-anak tidak lagi tertarik main petak-umpet. Mereka lebih tertarik dengan bermain handphone atau menonton televisi bersama para orang tuanya.

Keadaan desa pun sekarang semakin kering setelah tidak adanya Aki Entuk. Padahal melalui tiupan nada serulingnyalah seakan malam memiliki ruhnya. Seolah menjadi perekat jiwa antara manusia dan alamnya. Tidak seperti sekarang, antara manusia dan alam seolah menjadi terpisah, sebab manusia-manusia desa seolah lari dari jati dirinya. Mereka tak lagi melewati kehidupan yang penuh syukur, sebab pikirannya telah tergiur oleh kemolekan kota yang mereka saksikan lewat layar kaca. Bahkan mungkin saat ini warga desa sudah lupa dengan lagu maskumambang kesukaan Aki Entuk yang paling sering dilantunkannya diantara pupuh-pupuh yang lain.

Perubahan kehidupan yang ada di desa sangat terasa disaat penulis mudik lebaran misalnya. Kini sudah tidak ada lagi kehidupan desa yang dahulu sangat dirindukan. Ketika malam tiba, tidak ada lagi suara keributan bocah-bocah kampung saling berkejaran atau suara para orang dewasa yang sedang mengobrol sambil berkelakar atau suara tiupan seruling Aki Entuk atau suara dongeng enteng dari radio Sonic. Yang tertinggal hanya tinggal suara jengkrik yang makin parau yang sesekali diselingi suara mesin motor anak muda-mudi hilir mudik di jalan yang sekarang sudah diaspal.

Penulis kadang berdialog dengan diri sendiri tentang zaman edan yang disebutkan Rendra dalam puisi Maskumambangnya. Lalu muncul pertanyaan tentang apakah keedanan zaman ini sudah sampai ke desa-desa? Jika jawabannya iya, tentu ini diluar dugaan, sebab dalam bayangan semula, penulis beranggapan bahwa jika zaman edan sudah menjangkiti desa, maka kita akan sering melihat ada orang tua yang main petak-umpet dengan bocah-bocah tanpa rasa malu. Namun jika jawabannya tidak, maka ini juga menimbulkan suatu tanda tanya besar, sebab sudah nyata-nyata zaman telah berubah dan hampir sudah keluar dari logika akal sehat.

%d bloggers like this: